Fast Fashion, Era Baru Industri Mode

Belakangan ini, fashion menjadi salah satu gaya hidup yang semakin akrab di telinga. Peragaan busana pun kian menjadi agenda tetap para fashionista. Mereka tentu tidak ingin di cap ketinggalan gaya, buta mode. Untuk itu, mereka jarang absen dari pergelaran mode yang dihelat desainer, butik, maupun mal. Kalau bisa, kursi di barisan depan menjadi milik mereka, agar bisa puas melalap busana koleksi anyar sang desainer. Tidak puas dengan perancang lokal, mode negeri tetangga pun disantap, dinilai, diadaptasi, dan dipakai.

Akibatnya, tren mode bergulir cepat. Fashion Eropa menjadi tolak ukur utama yang kemudian disesuaikan dengan kebudayaan negara masing-masing. Di Asia, dua mogul mode, Jepang dan Hong Kong pun mencoba menarik perhatian. Membuka pintu lebar-lebar, agar industri modenya terus berkembang luas, hingga ke pelosok dunia.

Lalu bagaimana konsumen beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi? Color & Image Consultant Irma Hadisurya membagi ilmunya. Dalam sebuah talkshow yang diadakan di Mal Kelapa Gading dalam rangkaian Jakarta Fashion & Food Festival 2008, Irma menjelaskan mengenai era baru dalam dunia mode.

“Mode masa kini bergerak cepat. Istilahnya fast fashion. Tren tidak lagi dihitung berdasarkan spring/summer ataupun fall/winter, tetapi bisa jadi hanya dalam usia 6 minggu saja,” ujar Irma.

Hal tersebut rupanya dipahami oleh para peritel. Maka tidak heran bila Zara dan H&M merajai pasar, pasalnya mereka mampu menawarkan produk baru pada konsumen dalam hitungan minggu. Solusi yang tepat untuk mengatasi fast fashion adalah fast thingking dalam artian mengambil keputusan dengan cepat. “Di sini, merchandiser dan buyer harus memiliki perencanaan matang dalam waktu singkat,” terang wanita yang pernah menjadi wakil pemimpin redaksi Femina ini.

Fast fashion juga memicu fast sourcing. Pengadaan produk secara cepat menjadi senjata China di pasar internasional. “China tetap unggul untuk volume besar dan biaya rendah,” tutur Irma. Sangkaan negatif mengenai produk China yang berkualitas rendah pun mulai luntur. Saat ini China tengah memasuki industri gaya baru, dimana negaranya menjadi perakit produk high end Eropa. Sebut saja Burberry, Coach, Liz Clairborne, Tommy Hilfiger, Ralph Lauren, Marc Jacobs, Kate Spade, hingga Donna Karan yang mengandalkan perakitan di China.

“Bahkan World Luxury Association memprediksi, 2009 nanti 60% barang mewah bermerek dibuat di China,” sambungnya.

Di dunia yang serbacepat ini, internet pastilah menjadi solusi praktis. Pelaku mode pun menjadikan internet sebagai arena pertarungan. Hasil riset menyebutkan, sebanyak 10% penjualan produk mode di Amerika dilakukan secara online, terutama oleh kaum muda yang merupakan target pasar terbesar.

Era baru fashion juga ternyata membawa konsumen jenis baru. Konsumen masa kini tidak lagi setia pada satu merek tertentu, melainkan lebih suka “mengembara”. “Istilahnya butterfly consumers, mereka lebih suka icip sini, icip sana. Mereka berbelanja karena keinginan, bukan kebutuhan,” terang pemilik butik Rumah RonaGaya ini. Merekalah yang mengubah cara pemasaran dan ritel luxury product di abad 21.

One thought on “Fast Fashion, Era Baru Industri Mode

  1. janganjangan ini yang dibikin pas daku sedang asik bermimpi kemaren…ehmm….

    hehehe..anda benar!! jadi ini adalah salah satu artikel yang aku ketik saat itu, hohoho..jadi malu…

Leave a comment